Jumat, 10 Mei 2013

Tunggu Aku di Batas Senja


Pagi itu Ara berlari menuju kolam ikan di samping rumahnya. Seperti yang biasa ia lakukan ketika pagi bertemunya, ia menemui ikan mas yang ada di kolam ikan samping rumahnya. Sambil memainkan air yang ada di kolam ia tersenyum seraya ia berkata dalam hatinya “ikan kecilku, suatu saat kamu tidak akan sendiri lagi, ‘kan kucarikan sahabat hatimu agar kamu tidak merasakan kesepian seperti aku”. Lepasnya kata itu dengan tetes air mata jatuh dari pipinya. Ia memang menyayangi ikan mas pemberian ayahnya satu tahun silam, sebelum ayahnya meninggal.
Sontak Ara terkejut karena tiba-tiba adiknya muncul dihadapannya “ade… ngapain kamu di situ?” tanya Ara. “kakak sendiri lagi apa?” tanya Nila kembali. Tiba-tiba ibunya menghampiri percakapan mereka “loh, kok kalian belum siap-siap ke sekolah? Ibu sudah membuatkan sarapan di meja” ajak ibunya. “iya, bu” ucap keduanya serentak.
Saat sarapan, dengan rasa penasaran yang ada di benak Ara ingin ia tanyakan sejak enam bulan yang lalu. “ibu…”panggil Ara manja. Seketika ibunya menoleh padanya. “ada yang ingin Ara tanyakan bu” tanya Ara dengan wajah yang penasaran. “kamu ingin tanyakan apa?” jawab ibunya. Ara pun menghela nafas panjang, sambil ia menanyakan hal itu “sebenarnya Ara itu sakit apa bu?” Tanya Ara pelan. Seketika ibu dan adiknya terdiam sesaat. “Ibu kenapa diam?” Tanyanya kembali. “Sudahlah, lanjutkan saja makannya. Nanti kalian terlambat” jawab ibunya mengalihkan. “tapi bu?” rintih Ara. “belum saatnya kamu tahu” ucap ibunya, seketika Ara menghentikan makannya dan berpamitan ke sekolah.
Selepas Ara pergi, ibunya termenung sambil membereskan piring yang ada di meja. “Ya Tuhan.. maafkan aku. Aku tak ingin membuatnya sedih, aku terpaksa melakukan ini” kata ibu dalam hati. Ibunya sangat menyayangi Ara, belum lama ini ia di vonis mengidap penyakit sel darah putih (leukemia). Karena itu ibunya belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya pada Ara. Dia takut kehilangan putri sulungnya itu.
Ketika di sekolah Ara memang suka menyendiri dan membuat lukisan yang indah dan menarik yang menurutnya mempunyai makna tersendiri dalam hidupnya, yang belum tentu orang lain mampu memaknainya. Ia memang mempunyai seorang sahabat karibnya sejak kecilnya, sebutlah ia Nazwa. Saat istirahat tiba, Ara hendak pergi ke taman, Nazwa menghampirinya. “Ra, mau kemana?” Tanya Nazwa. “hmm.. lagi pengen ketaman” jawab Ara singkat. Ara pun menghiraukan sahabatnya itu dan segera memalingkan dirinya dari Nazwa. Nazwa mengerti saat Ara bersikap dingin seperti itu, ia tak ingin di ganggu oleh siapapun bahkan sahabatnya sendiri. Belum sampai Ara di taman ia berpapasan dengan seseorang dan membuat alat lukisnya terjatuh berserakan, “aduh… maaf ya” ucap lelaki itu. Ara terdiam sesaat dan menatap wajah lelaki itu dengan dalam. Ia sadar apa yang ia lakukan, tapi ia tak mengerti mengapa ia melakukannya. Tak lama Ara tersadar dan bertanya dalam hatinya “Astaghfirullahaladziim… ada apa denganku?”. Kemudian lelaki itu mengambil alat lukis Ara. “makasih” ucap Ara singkat. “maaf ya, gara-gara aku semuanya berantakan” ucap lelaki itu. “gak masalah” jawab Ara. Tak sadar Ara menjatuhkan sapu tangan berwarana biru yakni miliknya. Kemudian lelaki itu meraih sapu tangannya.
Sesampai di taman Ara tak sadar bahwa lelaki itu mengikutinya. Ia berkata “kamu? Ngapain?”. “emm.. gak usah kaget gitu kali, aku gak akan ngegigit kok” ujar lelaki itu. Ara pun tersenyum melihatnya, “ini punya kamu kan? tanya lelaki itu sambil menyodorkan sapu tangan milik Ara. “ini punyaku” kata Ara dengan singkat. “kenalin aku Azka” ucap Azka berkenalan. Ara terdiam sesaat menatap mata Azka kedua kalinya. Sambil berkata dalam hatinya, “Ya Tuhan.. ada apa denganku, mengapa aku jadi gugup seperti ini?”. Azka pun mencoba menyadarkannya, tak lama Ara pun berkata “namaku Azahra, panggil aja Ara”. “kamu suka melukis?” tanya Azka. Ara tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Cukup lama mereka berbincang bel pun berbunyi tanda istirahat telah selesai. Kemudian Ara bergegas kekelasnya “aku ke kelas dulu yah” ucap Ara. Azka hanya membalasnya dengan tersenyum padanya.
Sesampai di rumah Ara terlihat riang dan ceria, melebihi yang biasanya. “hayoo.. kakak lagi seneng yah?” ejek Nila adiknya. Ara tersenyum pada adiknya sambil memegangi boneka kesayangannya. “ahh.. kakak kok gak di jawab?” tanya Nila cemberut. Kemudian adik kakak itu bersenda-gurau dengan penuh keharmonisan, tawa lepas yang mereka rasakan tanpa adanya kepalsuan. Saat itu Ara lupa bahwa ia tidak boleh merasa lelah. Senja itu Ara merasa sakit yang hebat, tanpa sepengetahuan ibunya darah keluar kembali dari hidungnya. Ini yang ingin Ara tanyakan pada ibunya saat pagi. Ara masih bingung dan bertanya-tanya tentang penyakit yang di deritanya. Belum lama ini terkadang Ara merasakan hal yang berbeda pada dirinya, mengapa tak ada yang memberitahu mengenai penyakitnya itu. Sakit kepala yang ia rasakan senja itu, kini ia hanya merintih kesakitan. Di sisi lain ia juga tak ingin terus menerus menyusahkan ibu dan adiknya. “Ya Tuhan? Bila waktu telah tiba, aku ingin saat kematianku tak lagi sendiri, aku membutuhkan seorang sahabat hati, yang lebih dari seorang sahabat yang ku miliki. Namun, itu bukanlah yang segalanya untukku”. Terlontar sepenggal kalimat terucap dari bibirnya. Setelah itu Ara pun tak sadarkan diri. Ibunya menghampirinya terbaring di tempat tidurnya. Senja itu Ara dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Keesokan harinya Ara di kabarkan sakit dan mendapat rujukan dari dokter untuk di rawat selama beberapa hari. Kabar ini pun terdengar sampai ke pihak sekolah, melalui sahabatnya Nazwa. Azka mendengar kabar ini, dia menemui Nazwa untuk menanyakan hal itu. “hey?” panggil Azka. “iya?” jawab Nazwa singkat. “kamu sahabat Ara?” tanya Azka penasaran. “iya, kenapa ya?” jawab Nazwa dengan gugup. “kalau boleh tahu hari ini Ara kemana ya?” tanya Azka kambali. “hari ini Ara di rawat” jawab Nazwa. “sakit apa?” tanya Azka kembali. Nazwa terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa. Sebelumnya Nazwa memang mengetahui penyakit yang dideritanya. “loh kenapa diem? Aku boleh ikut jenguk Ara?” tanya Azka. “boleh, kenapa enggak. Pihak sekolah juga hari ini, kita bareng aja.” jelas Nazwa. “oke” ucap Azka. Saat di kelas Raka (teman sekelas Azka) bertanya “darimana loe?”. “habis cari berita gue.” jawab Azka. “katanya loe mau jenguk Ara ya?” tanya Raka. Azka hanya memberi kode dengan mimik wajahnya. “gue heran sama loe, padahal loe kan baru kenal sama Ara”. “trus? Emang salah ya?” ujar Azka. “ya engga salah, takutnya loe punya tujuan lain, ngaku loe?” kata Raka so tau. “so tau loe! Tapi, gue juga bingung serasa saat gue ketemu sama Ara, ada hasrat gue pengen jaga dan rawat dia”. “tuhh, kan apa gue bilang” kata Raka sambil menepuk pundak Azka.
Tak sengaja saat Ara hendak memaksakan untuk ke kamar kecil, ia mendengar pembicaraan dokter dengan ibunya bahwa ternyata selama ini ia mengidap leukimia. Ara tercegang, ia shock mendengarnya, serontak ia merasa kecewa dengan ibunya, mengapa sejak awal ia tak diberitahu. Jatuh airmata membasahi pipinya. Ia kembali ke kamar untuk membaringkan dirinya sejenak. Kemudian ibunya menemuinya “bagaimana kondisimu saat ini nak?” tanya ibu. Ara diam seribu bahasa, ia sama sekali menghiraukan apa yang dibicarakan ibunya. “mengapa kau diam nak?” tanya ibunya kembali. Hanya air mata yang tak bisa ia tahan saat itu. “tebak siapa yang datang menjengukmu?” ibunya berusaha menghibur. Beberapa saat kemudian, Nazwa, Raka, Azka dan wali kelasnya datang untuk menjenguknya.
Saat itu Ara hanya menangis, ia merasa hidupnya tak akan lama lagi. “kok kamu nangis Ra?” tanya sahabatnya. Ara menghela nafas, ada yang ingin ia katakan saat itu. “kamu kenapa nak? Sahabat dan gurumu datang ke sini untuk menjengukmu. Berharap agar kondisimu membaik” ucap ibunya tulus. “bu” panggil Ara pelan. “ibu di sini nak” jawab ibunya. “mengapa ibu berbohong? Mengapa tidak sejak dulu ibu katakan yang sebenarnya?” ucap Ara. “kamu bicara apa nak?” ucap ibunya. Suasananya menjadi haru melihat kondisinya. Nazwa tahu apa maksud dari perkataan Ara, ia tak kuat menahan isak tangisnya hingga air mata yang berusaha ia tahan tak terbendung lagi. “hidup Ara tak lama lagi bu,” lirih Ara. Semua mencoba untuk tak menangis di hadapan Ara. “kamu akan baik-baik saja nak” ucap ibu. “kamu gak boleh ngomong gitu Ra”. ucap Nazwa. “kini Ara tahu, apa yang ibu sembunyikan selama ini, mengapa ibu tidak memberitahuku mengenai penyakitku ini bu? Aku mendengar sendiri apa yang dikatakan dokter tadi, aku di vonis. Hidupku tak akan lama lagi bu” ucap Ara dengan lemah. “maafkan ibu nak, tak ada niatan ibu untuk membohongimu, ibu hanya ingin kamu bahagia. Ibu tak ingin kau memikirkan fikiran dan masalah yang berat.” jawab ibunya. “Ara, percayalah kamu pasti bisa” ucap Azka memberi semangat. Ara menoleh kepada Azka, seraya ia baru sadar jika Azka berada disampingnya. Semua panik karena Ara tak sadarkan diri setelah itu.
Satu bulan kemudian kodisi Ara pulih dan membaik. Saat ia bersama sahabatnya, Azka menemuinya. “selamat siang Ra, gimana kabar kamu?” sapa Azka. Ara kembali tersenyum padanya. “yang di sapa kok Ara doang” ucap Nazwa agak jutek. Ara merasa tak enak hati saat itu, ia tak mau melukai hati sahabatnya. Ara merasa bahwa Nazwa juga menyukai Azka, ia tahu dari tatapannya pada Azka, sikapnya pada Azka. Di sisi lain ia merasa bingung karena ia memang menyukainya sejak awal. “iya sama kamu juga kok” ucap Azka pada Nazwa. Terlihat dari mimik wajahnya, Nazwa memang sedikit kesal dan bisa di bilang jealous saat Azka akrab dengan Ara.
Malamnya Ara membuat sebuah puisi yang ia tujukan pada Azka. Sebelumnya ia sudah menceritakan semua itu pada ibunya. Yang isinya :
Tercipta untuk pangeranku
Saat mentari tak menyinari hariku
Kau datang membawa sinar kehangatan untukku
Saat bulan tak hadir dalam malamku
Kau terangi aku dengan cahaya indamu
Saat pelangi tak nampak setelah hujan
Kaulah yang memberi warna saat senjaku tiba
Saat ku mulai menyerah hadapi semuanya
Kau hadir memberi aku senyuman dan membuatku bangkit dari kesepian
Puisi sederhana kutulis dengan apa adanaya dirimu
Peri kecil yang kesepian
Keesokan harinya, Nazwa meminta pendapat pada Ara mengenai puisi yang ia buat untuk Azka. Sungguh sangat bimbang hati Ara saat itu, ia memutuskan merelakan perasaannya demi sahabatnya. “menurut kamu gimana puisinya?” tanya Nazwa. “keren kok, pasti Azka suka” jawab Ara. Kemudian puisi itu, telah sampai di tangan Azka. Azka kaget karena puisi itu di tulis oleh Nazwa. Sempat dia ragu dan mengelak bahwa ini bukan dari Nazwa, dan ia malah berharap puisi itu ditujukan dari Ara.
Hari berikutnya, canda tawa Ara dan Nazwa, tawa lepas yang mereka ciptakan. “Ra, hari ini aku seneng, banget” ucap Nazwa dengan wajah yang sumbringah. “hayo, sahabatku seneng karena apa?” tanya Ara. “tadi aku ketemu Azka, dan dia bilang dia suka sama puisi yang aku buat” jelasnya. Ara terdiam sesaat, seraya berkata dalam hatinya “Ya Tuhan, maafkan aku. Sengaja ku tukar puisi itu dengan punyaku dan ku ganti dengan namanya. Aku hanya ingin melihat Nazwa bahagia”. “Ra, kamu kenapa? Kok bengong?” tanya Nazwa. “ga papa kok. Trus gimana ceritanya?” ucap Ara. “ya, gitu deh” katanya. “Ukh, Nazwa, kok gitu sih?” ujar Ara jutek. “iya, iya nanti aku cerita. Jangan nagambek dong” bujuk Nazwa. “hmm.. kamu duluan deh, kotak lukisku ketinggalan di kelas” ucap Ara. “ya udah, hati-hati yah” ucap Nazwa. “siiiip” ucap Ara kembali. Azka menghampirinya, Ara berusaha menghindar dan menjauh darinya. Azka berusaha mengejarnya, kemudian langkah Ara terhenti sejenak. “Azahra?” panggil Azka. Ara tak menoleh sedikitpun ia malah melanjutkan langkahnya dengan pelan setelah ia berhenti sesaat karena menghapus darah yang keluar dari mulutnya. “mengapa kau menjauhiku?” tanya Azka. Ia pun mengentikan langkah kakinya kembali, ia tertunduk ke bawah. “kamu kenapa Ra?” tanya Azka kembali. Azka pun mengangkat wajahnya. “bibirmu berdarah?” tanya Azka. Wajahnya terlihat pucat sesaat, entahlah bila Ara memikirkan suatu hal yang membuatnya berfikir keras hal itu selalu terjadi. Tak lama kemudian Ara jatuh pingsan, dengan panik Azka membawanya pulang kerumahnya.
Sesampai di rumah ibunya tepat berada di depan rumah dan langsung meraih putrinya. “kenapa dengan Ara?” tanya ibunya, “tadi ia jatuh pingsan saat hendak pulang” jawab Azka. Dibawalah Ara ke tempat tidurnya. Azka menyempatkan diri untuk menanyakan hal-hak mengenai Ara. Akhirnya Azka mengetahuinya, dan tak lama kemudian Ara sadar dari pingsannya. Azka merasa di merasakan apa yang Ara alami. Kini dia sadar bahwa ternyata selama ini dia menyayanginya.
Hubungan Ara dan Azka semakin dekat setelah Azka mengetahui permasalahannya. Hari demi hari, minggu demi minggu Ara mulai membaik, Azka selalu menghiburnya dan mencoba untuk merawatnya. Suatu hari Nazwa mulai menjaga jarak dengan Ara, setiap kali Ara menemuinya ia selalu menghindar, setiap kali Ara membutuhkan pertolongan ia tidak pedulikannya. Hal itu membuat kondisinya semakin drop, hingga Ara megalami koma. Ibunda tercinta sangat sedih, bahwasannya ibunya tidak mau kehilangan putri sulungnya itu. “bu, Ara pernah mengatakan hal ini kepadaku, bahwa ia punya ikan di kolam samping rumah. Apakah ia mempunyai ikan mas kecil kesayangan?” Tanya Azka. “iya benar, lalu?” ucap ibunya. “Ara pernah berpesan kepada saya, bahwa ia ingin mencarikan teman untuk ikan kecilnya” ucap Azka. “lalu?” Tanya ibunya penasaran. “dan ia juga meminta agar saya mencarikan ikan yang sesuai dengan ikan peliharaannya, kini saya sudah menemukannya” jelasnya. “baiklah kalau begitu simpan ikan itu dikolam samping rumah” ucap ibu.
Ara pun tersadar dari koma yang ia jalani, ia terus memanggil nama sahabatnya “Nazwa”. Kemudian ibunya meminta untuk menjenguk Ara. Awalnya memang sulit untuk membujuknya, tapi akhirnya Azka yang menjemputnya dengan permintaan Ara sendiri. Ibunya menemui dokter, dan membicarakan mengenai operasi Ara di Jerman. Ibunya memutuskan untuk membawa Ara pergi ke Jerman untuk menjalani pengobatan dan operasi.
Beberapa saat kemudian Nazwa pun datang dan berlari memeluk Ara. “Naz, aku mau persahabatan kita kaya dulu, aku rela bila kelak Azka menjadi milikmu” ucap Ara lemah. Azka bingung mengapa Ara mengatakan itu, “maafin aku Ra, aku terlalu egois untukmu.” kata Nazwa. “Azka, ada yang ingin aku katakan padamu, juga pada Naz” ucap Ara. “katakan saja” ujar Azka. “terlebih dulu aku ingin meminta maaf sama kamu Naz, aku telah menukar puisi milikmu dengan punyaku yang kau berikan untuk Azka, dan aku minta maaf bila selama ini aku menyakitimu. Jujur, aku rela menjauh dan menghindar dari Azka untukmu, tapi saat itu aku tidak membohongimu, memang kotak lukisku tertinggal, dan saat itu aku bertemu dengan Azka” jelas Ara. “aku memang bodoh Ra, aku sudah berprasangka buruk terhadapmu, aku menganggap kamu menusukku dari belakang, kau rebut Azka dariku dan aku salah ternyata kamu rela melakukan itu untukku hingga kondisimu drop saat ini.” jelas Nazwa “sudahlah, mungkin ini salahku mengapa sejak awal aku tak mengatakan bahwa aku menyayangi Azka” ucap Ara. “sungguh?” tanya Azka. Ara pun menghiraukan pertanyaan Azka saat itu, baginya saat ini sahabat yang ia harapkan. “Aku terlalu egois Ra” ucap Nazwa. “tapi, aku ingin melihat kalian berdua bersatu. Dan Azka, terima kasih kamu telah menjadi semangat untuk hidupku, hidupku tak lama lagi Naz, aku ingin kau bersamanya” lirih Ara. “tak mungkin itu terjadi Ra, Azka lebih menyayangimu di banding diriku” kata Nazwa. “tidak Naz, kau yang lebih pantas bersama Azka, kau jauh lebih sempurna dibanding diriku. Dan lama-kelamaan rasa itu akan tumbuh untukmu” ucap Ara pelan.” “aku memang menyayangi kalian berdua, tapi benar yang di katakan Nazwa aku lebih menyayangimu. Dimataku kamu sempurna Ra” ucap Azka. “tapi ka, aku akan pergi ke Jerman untuk menjalankan operasi, entahlah kapan aku kembali” ujar Ara
Kemudian ibunya datang menyampaikan berita ini kepada Azka dan Nazwa. “besok kita pergi ke Jerman Ra” ucap ibunya. “kenapa secepat itu bu?” tanya Ara. “ibu sudah memesan passportnya jauh hari, kebetulan mungkin kita akan tinggal di sana. Nazwa pun tak kuasa menahan airmatanya, ia tak bisa bayangkan bila harus berpisah jauh dari sahabatnya. Ara pun meraih kedua tanagn Azka dan Nazwa, “apa maksudmu?” tanya Nazwa. “aku tak mungkin bersamanya Ra, “ucap Azka,” kalian jangan ke-GRan dulu, ku pegang tangan kalian karena aku kalian menemuiku besok” ucap Ara. “baiklah, peri kecilku” ucap Azka. Ara hanya membalasnya dengan senyuman.
Keesokan harinya, tepat pada pagi hari Nazwa menemui Ara, “mengapa kau datang sangat awal?” tanya Ara. “Ra, aku minta maaf, aku menyempatkan untuk menemuimu saat ini, karena hari ini dan sekarang aku harus pergi ke Surabaya, ibuku jatuh sakit. Jadi, aku tak bisa menemuimu sore ini.” jelas Nazwa. “Tak apa kawan, aku senang kau menemuiku saat ini juga” kata Ara dengan senyum. “semoga operasinya berjalan lancar dan kamu segera kembali ke Indonesia, dan jangan pernah lupain aku.” ucap Nazwa. “iya Naz, karena kamu sahabat terbaikku” ucapnya. Saat itu Nazwa segera pergi ke Surabaya. Nila, adiknya sedang membereskan koper, “de, maaf ya kakak ga bisa bantuin kamu” kata Ara. “iya, kak ga papa kok” jawab Nila.
Ara meminta Nila untuk mengantarnya ke danau. Senja mulai menghampirinya, hujan pun turun. Ara dan Nila berteduh sambil menunggu Azka, “kak, ka Azkanya kok belum nongol juga?” tanya Nila. “mungkin sebentar lagi de” jawab Ara. tak lama kemudian Azka datang dengan basah kuyup. “maaf ya udah lama nuggu, tadi ban mobilnya kempes” ucap Azka. “iya gapapa kok” jawab Ara. Sambil memberikan kalung kepada Ara, Ara pun memberikan sebuah kotak musik. “aku harap kita akan bertemu lagi di sini kelak” terlontar dari Azka. “bila aku masih diberikan hidup dan masih bisa bernafas aku akan menemuimu kelak, walau kau telah bersama orang lain kelak” kalimat itu terucap oleh Ara. “aku akan menunggumu di batas senja ini, di tempat ini. Dan aku akan mengunjungi tempat ini setiap tanggal dan bulan yang sama. “ucap Azka serius. “kini ikan kecilku tak lagi kesepian, begitu dengan peri kecil tak lagi kesepian. Terima kasih telah hadir dalam hidupku.” ucap Ara, “aku menyayangimu dengan kesederhanaan dirimu” kata Azka, “baiklah, Tunggu Aku Di batas Senja di tempat ini. Kelak aku pasti datang menemuimu” ucap Ara, “kan ku rindukan peri kecilku” ucap Azka. Kemudian mereka berpisah, kini Ara telah pergi ke Jerman bersama Ibu dan adiknya.
Satu tahun kemudian Azka menemui tempat itu saat senja. Dua tahun kemudian Azka datang ke tempat itu berharap Ara kan datang. Tiga tahun kemudian hal itu masih sama ia lakukan namun tak kunjung datang. Lima tahun kemudian, Azka malah mendapat kabar dari teman sekelasnya saat SMA dulu (Raka), bahwa dia akan melangsungkan pernikahannya di Bogor. Dan awalnya Azka tak percaya, Raka menikah dengan Nazwa. Sempat dia merasa heran, namun inilah kenyataan. Kini Azka telah menjadi seorang dokter dan memiliki sebuah apotek dengan nama “AZRA”. Dia masih berharap bahwa Ara akan datang menemuinya. Enam tahun kemudian, Ara bersama Ibu dan adiknya tiba di Indonesia, kini Ara sudah sembuh dari penyakit yang pernah mengrogotinya. Di Jerman Ara menjadi seorang Penulis yang ternama dan menjadi seorang Pelukis yang profesinal (seniman). Ara ingat bahwa, jika sepulangnya dari Jerman ia akan menemui Azka saat senja. Saat itu Azka memang sudah menunggu di danau, dia tidak tahu jika Ara telah pulang ke Indonesia, dia hanya berharap. Cukup lama Azka menunggu, tapi Ara tak juga datang. Senja mulai tenggelam, Azka menghapus harapannya tahun ini, dia pun hendak meninggalkan danau, di batas senja saat Azka melangkahkan kaki untuk beranjak terdengar suara “pangeranku” memanggil dari kejauhan. Azka menghentikan langkahnya, dia mengenali suara itu. Saat Azka menoleh ke belakang, memang itu adalah Ara. Derai air mata, tangis haru bahagia yang mereka rasakan. “aku sudah menepati janjiku, setiap tahun ku temui danau ini. Ku menunggumu di batas senja, dan akhirnya kau datang juga” kata Azka. “aku pun telah menepati janjiku, aku kan datang di batas senja, dan maaf telah membuatmu menunggu lama.” ucap Ara dengan mata berkaca-kaca. “aku akan menjadi dokter untukmu di kala kamu sakit” kata Azka. “aku akan memberimu warna dengan kesederhanaan yang aku punya” ucap Ara. Kini mereka dipersatukan saat senja mulai tenggelam.
*** Selesai ***
Cerpen Karangan: Siti Marifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar