Kamis, 09 Mei 2013

AKU KAKEK DAN FOTO


Sudah lebih satu jam ku bolak-balikan lembar foto yang berserakan di atas meja kerjaku. Aku lelah dan mulai putus asa. 113 foto, karya terbaiku sudah aku tunjukan, tapi belum ada yang memuaskan Si Kakek. Si Kakek Misterius, begitu aku menjulukinya. Kakek dengan penampilanya yang biasa bahkan terkesan kumal, telah menantangku untuk membuat foto yang dapat membuatnya senang. Foto terbaik versi Si Kakek. Uang 500 juta rupiah adalah tantangan yang disodorkan kepadaku. Dia akan membayar karya terbaiku seharga itu. Bagiku, ini hal yang gila. Aku yang seorang fotografer boleh di bilang semi profesional di kota ini. Aku memotret acara perkawinan, wisuda, untuk iklan, dan acara lain. Mendapat tantang itu aku bersemangat. Ingin kutunjukan kemampuanku pada Kakek misterius yang telah mengejek karya-karyaku.
Ya empat bulan lalu aku bertemu kakek itu di tempat makan langgananku. Saat menunggu pesanan, aku melihat hasil jepretan kameraku. Aku memang baru dari lokasi pemotretan, ada perusaahaan yang memintaku membuat foto untuk kalender perusahaan mereka. Hasilnya menurutku bagus.
”Sungguh tidak bermutu.” Sebuah suara datang dari sebelahku. Kulihat kakek memandangku dengan tatapan dingin.
“Kakek bicara dengan saya?“ Aku berusaha sopan.
“Foto itu sangat biasa.”
“Maksud kakek apa?” Aku mulai kesal, bukanya menjawap pertanyaanku dia malah terus mengomentari foto-fotoku. Si Tua itu terus berkicau seperti ibuku kalau uang belanjanya menipis. Fotoku jelek, tidak kreatif, kacangan dan banyak lagi ocehanya yang intinya dia menjelekan hasil karyaku. Semuanya membuat emosiku meningkat.
“Kakek, kalau menurut kakek foto seperti apa yang bagus?”
“Begini saja, kalau kamu bisa menghasilkan foto yang dapat memuaskan hatiku, aku akan membayar foto itu seharga 500 juta.”
Aku terkejut dengan tantangan Si Kakek. Dan aku menerima tantangan itu. Sejak saat itu aku terus berkutat dengan kameraku. Ke kampus, di rumah, di jalan dan tempat yang kurasa dapat menghasilkan karya yang bagus. Aku menghabiskan banyak energi dan uang untuk berkeliling mencari tempat dan objek foto terbaik.
Dua minggu berlalu…
Aku datang ke warung makan tempat aku dan kakek dulu bertemu. Hari ini aku membawa lima foto yang kurasa paling bagus. Temanku bilang foto itu sempurna, dari pencahayaan maupun objeknya. Sepuluh menit menunggu Si Kakek datang. Ia langsung duduk di depanku.
“Maaf kek, kakek ini sebenarnya siapa?” Aku penasaran, dia berani membayar sebuah foto 500 juta tentu dia bukan orang biasa. Mungkin penguasaha kaya yang gila foto.
“Foto ini biasa.” Seperti pertemuan pertama dia tidak menanggapi pertanyaanku. Semua foto yang ku bawa hari itu tidak menarik perhatian Si Kakek misterius.
Begitulah setiap dua minggu kami bertemu.
Aku seperti seorang mahasiswa yang mengikuti perkuliahan rajin sekali menemui kakek itu. Motivasiku mungkin uang atau harga diri? Teman-teman sering mengolok-oloku. Mereka bilang aku dikibuli oleh Si kakek. Buktinya sudah banyak foto yang kuperlihatkan tidak ada yang bagus dimatanya. Bahkan beberapa foto ada yang sudah pernah memenangkan lomba foto di kotaku. Hari itu aku ingat sekali. Ku bawa beberapa foto untuk Si kakek. Salah satu foto adalah “Nenek, Cucu, dan Ternaknya” Begitu aku memberi judul pada foto itu. Foto itu aku ambil di desa kecil temapat Ayahku dilahirkan. Foto berlatar senja dengan objek nenek tua sedang memandikan sapi peliharaanya. Di dalam foto itu juga ada cucu si nenek yang usianya enam tahun. Nenek keriput hanya memakai kamben bermotif bunga yang warnanya sudah memudar dan penutup kepala warnanya sudah tidak jelas putih atau abu, jangankan memakai baju memakai kutang saja tidak. Cucunya memegang sabit dan hanya memakai celana pendek lusuh. Ini adalah potret riil sebagian masyarakat pedesaan yang kurang beruntung. Foto tersebut pernah meraih The Best Original Foto pada lomba foto yang diadakan oleh harian terkemuka di kotaku.
Hampir sepuluh menit aku menunggu reaksi Kakek misterius. Dia terus memandangi foto itu. Sepertinya kakek suka. “Horeee aku menang!” Begitu batinku berkata.
“Dimana kamu ambil foto ini?” Setelah 25 menit, akhirnya keluar juga suara dari mulutnya Si kakek.
“Di kampungku kek, di desa kecil di ujung timur Pulau ini, Kakek senang.” Aku menjawab dengan antusias.
“Tidak!” jawabnya kemudian.
“Foto ini hanya mengekploitasi kemiskinan, memamerkan kekurangan dan ketidak adilan. Dengan foto ini kamu hanya menyodorkan masalah tanpa solusi. Yang seperti ini sudah banyak, aku kurang suka.” Sambil berdiri kakek itu menaruh foto tersebut.
Kupandangi langkah terseok Si Kakek, keluar pintu berjalan kearah jalan raya menuju sepeda motor tua yang menunggunya.
Rasa penasaran terus menyelimutiku, aku ingin mengetahui jati diri Si kakek yang menantangku. Kakek itu kadang datang naik sepeda motor butut atau naik mobil produksi tahun 80-an. Apa benar ia kaya? Apa yang menyebabkan dia menantangku?
Hari itu kuputuskan untuk mengikuti Si Kakek. Setelah motor tuanya melaju akupun menuju Si Putih, metik kesayanganku yang setia menemaniku kemanapun aku pergi. Beberapa saat kemudian aku sudah melaju menembus ramainya lalu-lintas. Aku cukup kaget melihat Si kakek cukup gesit melibas keramaian lalu-lintas kota. Kurang lebih 20 menit menyusuri jalan kulihat kakek memacu motornya memasuki sebuah bangunan yang cukup luas.
“PANTI JOMPO RUJAK”
Itulah tulisan yang terpatri pada papan nama kecil yang terpasang di depan gerbang. Ternyata kakek tinggal di Panti Jompo. Begitulah kesimpulan sementaraku. Yang membuatku cukup penasaran adalah nama “Panti Jompo Rujak” Nama yang unik bagiku. Untuk mendapat info tentang kakek aku putuskan berhenti di warung kopi di seberang jalan.
“Kopinya Mbak” kataku sambil menghempaskan pantat di bangku kayu. Sudah jam 4 sore aku merasa penat. Di warung itu hanya ada aku dan seorang pria yang duduk di pojok ruangan. Lima menit kemudian segelas kopi telah terhidang di depankau. Sambil menyerubut kopi hitam kunyalakan rokok, dan mulailah aku bertanya-tanya pada perempuan separuh baya penjaga warung tersebut. Dari perempuan itu aku mendapat gabaran tentang Panti Jompo tersebut. Panti itu sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Pendirinya adalah Nenek Lung. Nenek Lung adalah pengusaha kaya raya keturunan cina. Sayangnya Nenek Lung tidak memiliki suami. Karena itulah dia mendirikan Panti khusus orang yang tua yang tidak atau belum menikah.
“Mungkin 5 atau 10 tahun lagi saya juga akan kesitu.” Perempuan itu berkat lirih sambil menatap Panti Rujak. Aku jadi mengerti rupanya perempuan ini belum berumah tangga sampai seusia ini.
“Ibu kenal dengan seorang kakek yang tinggal di Panti itu?” Aku mencoba mengalihkan perasaan perempuan itu yang terlihat gurat kekecewaan dan penyesalan di wajahnya.
“Kakek….? Banyak lelaki tua saya lihat keluar masuk ke situ.”
“Kakek itu suka memakai topi hitam, jalanya agak pincang, sering naik sepeda motor tua.” Aku coba mendeskripsikan ciri-ciri kakek misterius.
“Oh… dia. Aku tidak kenal, orang itu tidak pernah ke sini. Memang sering aku lihat dia keluar masuk Panti.”
Tepat jam 5 sore aku meninggalkan warung itu. Sebelum pulang aku sempatkan mengambil gambar Panti dan warung kecil itu, dari berbagai sudut.
Suara ketokan dipintu menyadarkan lamunanku.
“Masuk!”
“Masih memikirkan kakek itu?” Ananta temaku muncul dari balik pintu ruang kerja.
“Aku makin penasaran.” Kataku sambil merapikan foto-foto yang berserakan di meja.
“Udah di bawa santai saja, 15 menit lagi kita berangkat ke kampus Universitas AKAR.” Ananta berkata sambil meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawabanku. Hari ini kami kan mendokumentasikan acara berskala internasional yang di adakan kampus tersebut.
Hari ini adalah Sabtu. Dan sore ini adalah janjiku bertemu Si Kakek Misterius. Sebenarnya aku sudah mulai males bertemu dia tapi aku malu untuk menyerah. Aku siapkan beberapa lembar foto yang ku ambil kemarin.
Setengah jam sudah aku menunggu, lebih dari 3 batang rokokku sudah habis. Si kakek belum juga muncul. Tidak biasanya dia terlambat begini, paling lambat biasanya 15 menit saja. Kuputuskan untuk pergi. Mungkin Si Kakek memang kakek biasa yang iseng dan memang bukan pecinta foto atau bukan orang kaya. Dia memang mengerjai aku, benar kata teman-teman dia hanya kakek stress yang iseng.
Saat aku melangkah keluar, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar masuk. “Selamat sore. Anda yang bernama Karma?“ Laki-laki berkacamata hitam itu menyapaku.
“Ia, Anda siapa?”
“Saya utusan Pak Rahmat, kakek yang menantang anda membuat foto terbaik.”
“Ohhh… jadi namanya Pak Rahmat?”
“Karena sibuk, Pak Rahmat tidak bisa datang, maka saya di minta mengambil foto yang akan anda berikan hari ini.”
Aku kemudian menyerahkan amplop berisi foto yang telah kusiapkan. Sebelum pergi lelaki itu berpesan kalau Pak Rahmat senang dengan foto itu maka aku akan dihubungi.
Aku bertambah penasaran dengan Si Kakek Misterius, yang ternyata bernama Pak Rahmat. Lelaki yang mengambil foto tadi kuperhatikan seperti seorang bodyguard, dengan mengendarai motor gede. Apa mungkin dia kakek biasa kalau orang suruhanya penampilanya seperti itu? Si Kakek memang telah membuatku bekerja keras untuk menciptakan karya terbaik. Aku tidak ingin di cemooh oleh Kakek tua itu. Sampai di rumah aku langsung mandi dan mencoba merebahkan diri di tempat tidur, walau bayang-bayang penasaran masih menyelimutiku.
Pagi ini seperti biasa, aku bangun terlambat. Sudah setengah delapan aku harus ke kampus. Saat aku bergegas menuju Si Putih metik kesayanganku, tiba-tiba hp berbunyi. Pikiranku mengatakan itu sms Ananta yang mengingatkanku rencana pemotretan besok atau Beni teman kuliahku yang bilang tidak bisak kuliah hari ini.
Dari : +6281870000889
Anda di tunggu Pak Rahmat Di Panti Jompo Rujak
Sekarang juga…
Langsung saja Si Putih ku laju kearah Panti Rujak. Perduli amat dengan Prof Yosi dosen pengajarku hari ini. Pikiranku telah terfokus pada Kakek misterius alias Pak Rahmat. Apakah fotoku bagus. Ekspektasiku meninggi.
Panti Jompo Rujak. Bangunanya bergaya klasik, dengan taman yang tertata rapi membuat suasana cukup asri.
“Anda sudah di tunggu.” Seorang lelaki mengantarku menuju ke halaman belakang bangunan tersebut.
“Selamat Pagi Kek.” Aku menyapa ketika kulihat sesosok tubuh yang memegang tongkat sedang memandangi air pancuran di kolam kecil di depanya.
“Silahkan duduk.” Tanpa menoleh dia menyapaku.
Akupun duduk perlahan, suasana yang kaku langsung menyergap perasaanku. Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sekeliling kulihat hanya beberapa orang sedang membersihkan halaman, dan menyiram kebun bunga.
“Sempurna…!”
“Aku suka ini.” Kakek itu tiba-tiba berbalik dan membanting dua lembar foto. Kakek tertawa, melompat-lompat kegirangan. Tingkahnya seperti seorang anak yang mendapat hadiah istimewa.
Itu foto karyaku. Foto pertama adalah foto diriku sendiri, iseng ku ambil di ruang kerjaku saat aku suntuk. Didepanku bertebaran foto-foto hasil karyaku yang telah di cetak dan sempat di tolak Si Kakek. Kedua adalah foto Si Kakek sendiri. Ku ambil saat pertemuan kedua di warung. Terlihat dari samping dia sedang memegang gelas kopinya. Kenapa foto ini bisa ada di kakek?
Kupandangi cek senilai 500 juta pemberian Kakek Misterius. Ia menepati janjinya. Pak Rahmat begitulah orang-orang di Panti Rujak memanggilnya, ternyata adalah seorang konglomerat. Pak Rahmat tidak memiliki istri karena itu dia tinggal di Panti Jompo Rujak. Ia meninggalkan rumah dan harta benda lainya. Sebagian besar hartanya telah didonasikan untuk membantu pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin di Afrika dan Asia. Dan sisanya dia pakai mengelola Panti jompo Rujak. Mengapa dia memilih Panti Jompo tersebut? Ternyata saat muda Pak Rahmat memiliki love Story dengan Nenek Lung pendiri Panti.
“Foto ini menunjukan rasa percaya dirimu, percaya diri adalah modal untuk menjalani hidup.” Begitu alasan sederhana yang diungkapkan Pak Rahmat. Foto kedua, foto dirinya sedang minum kopi. “Ini aku suka.” katanya.
Entah kenapa ia suka foto dirinya sedang minum kopi?
Kenapa ia berani mengeluarakan 500 juta untuk foto itu?
Ditengah gemulainya tarian debu:
Karangasem-Bali, 27 Agustus 2012
Cerpen Karangan: Wayan Widiastama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar